Abstrak.id – Terjadi kontroversi mengenai peran perempuan sebagai pemimpin wilayah di wilayah adat Gorontalo. Beberapa pemuka adat berpendapat bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin, mengacu pada sejarah di mana empat Pohala’a (Kerajaan) besar di Gorontalo pernah dipimpin oleh perempuan.
Mereka adalah Mbui Ayudugya, Ratu Pohala’a Suwawa; Mbui Maimunah, pemimpin Pohala’a Limboto; Mbui Bulaida’a, pemimpin Pohala’a Hulonthalangi; dan Tolango Hula, Ratu Pohala’a Gorontalo.
Namun, ada pula pendapat yang menolak keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan wilayah adat Gorontalo. Menurut pandangan ini, proses adat yang dikenal sebagai ”tubo” (memberi penghormatan) memerlukan pemangku adat laki-laki untuk melakukan “Molubo” kepada pemimpin wilayah, dengan istilah “Tubooliyo”.
Proses ”Molubo” dianggap tidak dapat dilaksanakan jika pemimpin wilayah adalah perempuan. Selain itu, dalam struktur gelar adat Gorontalo, gelar “Pulanga” hanya diberikan kepada pemimpin laki-laki, sebagaimana tercatat dalam daftar penganugerahan gelar tersebut.
Kontroversi ini melahirkan ketegangan antara tradisi dan transformasi dari masyarakat Gorontalo, yang masih harus menyeimbangkan antara penghormatan terhadap adat istiadat dan pengakuan terhadap peran perempuan dalam kepemimpinan.
Dalam kajian adat Gorontalo seorang pemimpin akan dianugerahi gelar adat “Gara’i dan Pulanga”. Sementara gelar adat “Pulanga” hanya bisa diberikan kepada pemimpin laki-laki sebagaimana di dalam daftar nama yang telah menerima penganugrahan adat ”pulanga” tidak ada satupun pemimpin dari kalangan perempuan.
Penulis: Ustadz Wisno Pakaya, M.Pd