Abstrak.id – Deforestasi yang dilakukan oleh PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) di Kabupaten Buol tidak hanya menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan, tetapi juga mempengaruhi nasib petani plasma yang bergantung pada perusahaan tersebut.
Sejak 1996, PT HIP, anak perusahaan dari PT Central Cipta Murdaya (Group CCM), telah mengelola izin lokasi seluas 75.090 hektar, mayoritas berada di kawasan hutan.
Meskipun izin tersebut dimaksudkan untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit, dampaknya telah menyebabkan deforestasi masif yang menjadikannya salah satu yang terbesar dalam sejarah Kabupaten Buol.
Petani plasma yang tergabung dalam program kemitraan Inti-Plasma dengan PT HIP mengalami kesulitan yang signifikan. Lebih dari 16 tahun berkerja sama, mereka tidak merasakan manfaat sesuai perjanjian yang ada.
Sebaliknya, mereka terjerat dalam utang yang membebani, sementara hasil panen kelapa sawit yang mereka tanam sebagian besar diklaim oleh perusahaan.
Pembagian hasil yang disepakati mencatatkan 70 persen untuk Perusahaan dan hanya 30 persen untuk petani plasma, dengan tambahan bahwa perusahaan berhak memotong 30 persen dari pendapatan petani untuk membayar kredit bank.
Mulyadi, seorang petani plasma dari Desa Winangun, Bokat, mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi.
“Kami ini dibebani hutang terus oleh Perusahaan PT HIP, katanya kami memiliki hutang sebesar Rp.149.000.000.000, tapi semua hutang itu sepersen pun kami tidak pernah merasakan, terus bagaimana kami mau membayarnya, kan lucu,” ungkap Mulyadi, saat diwawancarai Abstrak.id, di kediamannya, di Desa Winangun, Kecamatan Bokat, Rabu (10/7/2024).
Kritik terhadap PT HIP juga mencakup dana yang diberikan kepada petani plasma, yang sebagian besar merupakan pinjaman dari dana talangan dan CSR perusahaan, bukan hasil dari pembagian yang adil.
Samsudin B. Abdullah, yang juga petani plasma di wilayah yang sama, menambahkan, “Tidak ada sama sekali pembagian hasil dari Perusahaan PT HIP yang kami terima. Padahal itu janji mereka saat awal mereka menawarkan untuk mengelola lahan petani menjadi perkebunan kelapa sawit.”
Masalah semakin rumit dengan adanya kriminalisasi terhadap petani plasma yang memprotes untuk menuntut hak mereka. Sejumlah petani plasma dihadapkan pada tindakan hukum atas tuduhan mengganggu kegiatan perusahaan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, PT HIP memperoleh izin pelepasan kawasan hutan seluas 9.964 hektar dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang bertentangan dengan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 yang menunda evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit.
Kontroversi perusahaan ini tidak hanya terbatas pada pengelolaan lahan dan hasilnya. Pada tahun 2011, PT HIP dan pejabat setempat terlibat dalam kasus suap terkait izin usaha perkebunan.
Meskipun memiliki sertifikasi dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), PT HIP masih terlibat dalam konflik agraria yang merugikan petani plasma.
Kontribusi perusahaan terhadap deforestasi di Buol berdampak serius terhadap perubahan iklim dan meningkatkan risiko bencana alam di wilayah tersebut.
Upaya terbaru dari petani plasma untuk menghentikan sementara operasional kebun PT HIP sejak Januari 2024 juga tidak berjalan mulus.
Selain itu, tiga petani plasma menjadi korban penganiayaan oleh pihak yang mengklaim sebagai buruh dan petugas kebun perusahaan pada awal Mei 2024.
Kisah ini menyoroti urgensi penanganan deforestasi dan konflik agraria di Buol. Masyarakat diharapkan untuk terus mengawasi dan merespons perkembangan kasus ini demi keadilan bagi petani plasma dan untuk menjaga komitmen keberlanjutan di sektor perkebunan kelapa sawit.
Hingga berita ini diterbitkan, Abstrak.id sedang berupaya mengkonfirmasi respons dari pihak PT HIP terkait laporan ini. (Ramlan/Abstrak)