Oleh: Adriandzah Mansyur
Sebuah catatan di hari Kemerdekaan 17 Agustus Tahun 2017
Misnapi (40), pulang ke rumahnya membawa uang Rp3 juta usai menjual seluruh hasil keringatnya selama 4 bulan. Ia tinggal di kampung Goyo sejak 12 tahun lalu, menyusul kakaknya Solihin Pesai (50), yang ikut program transmigrasi.
Saat ditemui di kediamannya, Misnapi tak tahan meluapkan semua unek-unek kesedihannya selama berada di Goyo. Ketika kabanyakan masyarakat ibu kota berfantasi di Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-72, Misnapi dengan menenteng cangkulnya berangkat ke kebun membawa mimpi keluar dari keterbelakangan.
“Hidup di sini, pak, banyak masalahnya. Aksesnya sulit. Sudah bertahun-tahun kita tinggal terisolir,” kata Misnapi memperlihatkan wajah sedih bercampur kesal.
Kampung Goyo terletak di kawasan Desa Olot II, Kecamatan Bolang Itang Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Kata ‘Goyo’ diartikan tetuah setempat sebagai lubang masuk pada alat ‘IGI’, sebuah perangkap ikan yang ditanam di laut.
Menurut Uleng Laorestabo (55), nama Goyo sudah ada sebelum ia lahir di Ollot pada tahun 1962. Goyo dinisbatkan kepada suatu kawasan perkebunan dan hutan yang subur, lalu menjadi pemukiman warga transmigrasi pada tahun 2005.
Perjalanan ke kampung yang dihuni 372 jiwa ini tidak mudah. Akses dari ibu kota terputus di dusun I, Desa Ollot II. Menuju Goyo harus menyebrang sungai menggunakan rakit. Sekali menyebrang bersama sepeda motor, petugas rakit meminta sewa Rp3 ribu sampai Rp5 ribu.
“Pernah rakit ambruk diterpa arus ketika warga menyebrang. Semua jadi berantakan. Warga sibuk menyelamatkan diri dan kendaraan mereka,” kata Stamin Laorestabo (49).
Sudah dua tahun, Stamin berganti profesi dari petani menjadi penjaga rakit. Setiap hari, pria dua anak ini bisa meraup hasil rata-rata Rp150 ribu. Adakalanya sampai Rp300 ribu.
“Tapi hasilnya harus saya bagi dengan pak Samsudin Labinjang, ia pemilik rakit,” ungkapnya.
Kendala menyebrang sungai baru permulaan saja. Setelah itu akan melewati akses yang hanya selebar 1,5 meter, berbatu, naik turun sekitar 10 kilometer. Jurang dalam dan tebing terjal yang mengapitnya menambah ekstrim.
Pada tahun 2016 pemerintah daerah sempat membangun jalan aspal. Namun, hanya sepanjang 2 kilometer. Sisanya baru sebatas pengerasan.
Setahun berlalu karena sering erosi, landasan pun kembali semula. Sangat sulit dilintasi. Jika hujan lebat, akses menjadi labil, dan mudah longsor.
Penulis yang berangkat ke Goyo saat hujan lebat beberapa kali nyaris tergelinjir. Padahal, sudah pelan dan ekstra hati-hati.
“Ongkos transportasi di sini mahal pak. Keluar Goyo mengangkut hasil panen, harus bayar ojek Rp40 ribu, kadang Rp50 ribu. Sekali jalan, muatan maksimal hanya lebih sedikit dari 100 kg,” keluh Misnapi.
Di Goyo, Misnapi berkebun jagung di lahan tanam seluas 1 ha. Bibit diperolehnya gratis lewat bantuan pemerintah daerah, tetapi pupuk harus beli. Setiap panen (4 bulan sekali), pipilan jagung yang dihasilkan rata-rata 2 ton.
Tengkulak mengambilnya di luar Goyo seharga Rp2.900/kg. Sehingga hasil penjualan hampir Rp6 juta harus dipotong tranportasi Rp800 ribu sampai Rp1 juta. Belum lagi biaya sewa tenaga pada proses panen, dan beban produksi lainnya.
Misnapi mengaku, yang tersisa di tangannya setelah dipotong seluruh biaya produksi, tinggal Rp4 juta, malah kadang di bawah itu.
Uang tersebut akan digunakannya memenuhi kebutuhan keluarga selama 4 bulan ke depan, sekaligus modal menanam jagung kembali.
“Itu saya sedang sehat. Kalau sakit, mungkin hanya mengharap upah dari desa. Beruntung saya dikasih kepercayaan jadi kepala dusun di sini,” katanya.
Pengalaman Misnapi, dahulu ketika harga jagung anjlok, uang yang bisa dititip kepada sang istri seadanya saja.
“Istri saya sedih, waktu itu anak kami satu-satunya dilanda muntaber tengah malam, sementara pusat kesehatan belum ada,” kenangnya.
Duka kemanusiaan selama tinggal di Goyo bukan saja milik Misnapi. Inang Mokodompit (47) yang berkebun kelapa, sayur, dan pisang goroho pun hampir putus asa.
Saat awal-awal penempatannya di Goyo, Inang sering turun ke pasar Olot sepekan sekali. Wanita asal Bolaang Mongondow ini berangkat bersama suaminya sejak pukul 01.00 Wita dengan menenteng sayur-mayur dan pisang goroho. Berbeda dengan Misnapi, Inang memilih jalan kaki.
“Pendapatan jualan sayur hanya kecil sekali. Kalau naik ojek, uang akan habis di jalan,” katanya.
Sejalan dengan usia yang semakin lanjut, Inang dan suaminya pun berhenti bolak-balik turun ke pasar.
“Badan sudah tak kuat lagi. Saya menunggu saja kalau ada pembeli datang ke Goyo. Mau berapa, saya kasih,” ketus Inang dengan nada pasrah.
Sedikit berbeda dengan Misnapi dan Inang, kehidupan lebih baik bisa dirasakan pasangan suami istri Nelpa Dotinggulo (39) dan Ramsin Mandjurungi (33). Selain kebun, mereka punya usaha ojek dan warung kecil-kecilan.
Menyusul masuknya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Nelpa dan Ramsin pun membeli televisi.
“Tapi kalu menonoton di sini, belum habis satu sinetron, listrik sudah mati. Kita hanya dikasih 200 kwh per hari,” kata Nelpa.
Indikator Pengembangan
Sejarah penempatan warga Transmigrasi di Goyo terjadi tiga tahap. Tahap I (2005) 80 KK, tahap II (2006) 40 KK, dan tahap III (2008) 40 KK. Seluruh masyarakatnya beragama muslim, terdiri etnis lokal Bolmut dan Jawa.
Perencanaan wilayah pengembangan transmigrasi Goyo seluas 800 ha. Kawasannya merupakan sentra produksi pertanian yang menghasilkan beragam komiditi unggulan seperti jagung, kedelai, kelapa, kacang tanah, kacang hijau, pisang Goroho, termasuk hasil kayu, dan tambang.
Kades Olot II Syamsudin Korompot mengatakan, sesuai target pemerintah, Goyo disiapkan menjadi desa definitif. Karena itu kini telah dibangun 1 SD dan SMP Satap, 1 unit mushollah, kantor desa, gudang, gilingan padi, jaringan listrik PLTS, dan puskesmas pembantu (Pustu).
“Khusus jaringan internet belum tersedia, sementara jaringan seluler hanya ada di sejumlah titik,” terangnya.
Syamsudin mengakui, kendala terberat masyarakat Goyo masih seputar akses, juga hama kera yang kerap mencuri hasil pertanian.
“Aspirasi ini sudah sering disampaikan warga. Kita sudah menindaklanjutinya ke pemerintah daerah,” jelasnya.
Selain itu lanjut Syamsudin, Goyo tak memiliki pos pengamanan. Sempat terjadi beberapa kasus kriminal, bahkan pembunuhan yang membuat gempar warga.
“Tapi itu sudah lama. Sekarang sedikit aman,” ujarnya.
Persoalan di Goyo juga terkait mindset. Jika ada ibu hamil misalnya, sudah ada himbauan untuk segera mengungsi di pemukiman warga Olot seminggu menjelang bersalin. Namun ada yang tak mau peduli, dan tetap bertahan.
“Untung belum ada kasus kematian ibu melahirkan,” kata Yulfa Latodjo (38), bidan di Pustu Goyo.
Di tengah kekurangan itu, yang patut membanggakan kehidupan beragama dan gotong-royong di Goyo cukup kuat. Ada taman pengajian kecil milik Solihin Pesai (50). Sewaktu pelaksanaan MTQ pertama di Bolmut, murid dari Solihin sukses meraih juara II. Kini, taman pengajiannya itu menjadi central pendidikan Islam di Goyo, meski fasilitasnya serba terbatas.
Pilihan Hidup
Meskipun daya dukung alam dan daya tampung lingkungan Goyo sangat memadai, tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih sangat rendah. 12 tahun mengolah lahan di Goyo, hanya 1 KK saja yang mampu membangun rumah beton.
Selebihnya berdinding papan dengan atap seng tua berukuran sekitar 7 x 5 meter, tanpa jamban. Tak ayal, sungai pun jadi tempat buang air besar. Dari tingkat SDM pula, Goyo sangat tertinggal. Sarjana hanya 1 orang dan kebanyakan lulusan SD.
Menurut Solihin jika merunut perjalanannya bersama warga etnis Jawa sehingga ikut program Transmigrasi cukup ironis. Saat sosialisasi di Probolinggo, Jawa Timur tahun 2005 silam, pemerintah berjanji memberikan tempat yang layak huni dan lahan seluas 2 ha. Selanjutnya dalam 4 sampai 5 tahun beroleh Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Saya langsung berkhayal, lalu mengajak saudara-saudara di Jawa yang lain. Di Goyo pasti taraf hidup bisa meningkat,” ungkap pria asli Desa Besuk Kidul, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur itu.
Sayang, setelah berada di Goyo, gambaran tempat berteduh yang pantas dari pemerintah jauh dari harapan.
“Ternyata rumah sempit belantai tanah. Kalau hujan becek. Istri saya menangis minta pulang. Kalau soal lahan, yang diberikan baru 1 ha lebih dan sudah 12 tahun ini sertifikatnya tak pernah ada,” ujarnya.
Solihin mengatakan belum adanya SHM serta akses yang tak mendukung kehidupan membuat warga Goyo dilanda ketidakpastian. Sudah beberapa kali ia mengirim aduan ke jajaran pemerintahan Bolmut. Namun, tak ada tindakan serius yang bersifat legal formal.
Sesuai ketentuan PP Nomor 3 tahun 2014,pembangunan kawasan transmigrasi diarahkan untuk mewujudkan permukiman yang berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berusaha, dan tempat bekerja. Dalam pasal 64 menyebutkan pembangunan kawasan Transmigrasi merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
“Tapi kalau kita datang mengadu, pemerintah daerah saling lempar tanggungjawab. Katanya Goyo tanggungjawab pusat,” kesal Solihin.
UU Nomor 29 tahun 2009 dan PP Nomor 3 tahun 2014 mengamanatkan pelaksanaan program transmigrasi untuk membangkitkan perekonomian dan meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun, melihat kenyataan dari warga Goyo, tujuan undang-undang masih jauh dari harapan.
Kehidupan di Goyo adalah perjuangan nyata melawan keterbelakangan dan kemiskinan di era Kemerdekaan. Harmoni alam terbuka menawarkan pilihan hidup antara keluar atau kukuh bertahan.
Bu Ami tetangga Solihin, memilih menetap meski selama 12 tahun, baru sekali turun ke kampung warga Olot. Ada pun Dasuki dan Broto, ketika turun tak pernah balik lagi.