Oleh: Arianto Van Gobel, S.H.
Bolmut, abstrak.id- Selamat Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) yang ke-18. Tulisan ini kupersembahkan sebagai kado untukmu, yah semoga ini jadi refleksi perkembangan, itupun kalau menerima kritikan dan pasukan itu tidak mengintervensi tulisan.
Peringatan hari jadi ke-18 ini semestinya menjadi momentum evaluasi total atas arah pembangunan dan tata kelola pemerintahan kita.
Apakah selama ini kita benar-benar bergerak maju, atau justru berjalan di tempat atau bahkan mundur karena tersandera kepentingan segelintir elit?.
Sebab, tahukah kamu bahwa ada dugaan wajah gelap birokrasi yang belum pulih dari persoalan klasik seperti ketidakadilan, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dugaan Nepotisme dalam Anggaran Media
Disini yang kubahas persoalan di DPRD saja yah meskipun di Kominfo juga katanya sama kisahnya.
DPRD Bolmut melalui Sekretariat DPRD mengalokasikan Rp500 juta untuk kemitraan media. Namun berdasarkan informasi di lapangan, diduga sebanyak Rp250 juta telah dicairkan hanya kepada 10 media, yang diduga kuat terafiliasi dengan tim sukses bupati dan wakil bupati terpilih.
Beberapa media bahkan tidak tercantum dalam daftar SPK dan SK, namun tetap menerima pencairan.
Lebih dari 20 media lokal lainnya yang memiliki dokumen resmi berupa SPK dan SK justru hanya menerima bayaran pemanis.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius, apa dasar penyaluran dana tersebut? mengapa ada media legal diabaikan, sementara media yang tidak memenuhi persyaratan administratif justru diakomodasi?.
Sekretaris DPRD Bolmut, Victor, membenarkan bahwa Rp250 juta telah disalurkan kepada 10 media saat dikonfirmasi awak media Dipublika.id biro Bolmut pada Maret 2025 lalu.
Namun, ia tidak memberikan penjelasan rinci mengenai kriteria atau mekanisme seleksi media penerima.
Pada bulan Maret itu juga, Patris Babay yang menjabat sebagai Ketua PWI Bolmut, angkat bicara. Ia menegaskan bahwa pendistribusian anggaran media harus berbasis legalitas dan prinsip transparansi.
“Bila ada media dengan SPK dan SK yang tidak menerima, sementara media tak berlegalitas bisa mencairkan, maka patut diduga terjadi pelanggaran tata kelola anggaran,” ujarnya.
Tak hanya itu, muncul dugaan adanya peran “makelar media” yang tidak memiliki media, SPK, SK dan SPJ namun menerima pembayaran fantastis dari anggaran media di DPRD Bolmut.
Hebat bukan? tentu hebat dong, jika tidak percaya coba hubungi LSM yang ada di Bolmut untuk menelusuri informasi ini, itupun kalau ada LSM yang berani hahaha.
Selain itu juga ada wartawan yang sekaligus merangkap sebagai pakar di DPRD Bolmut, aku tidak tahu ini diperbolehkan atau tidak tapi menurutku, rangkap jabatan ini membuka ruang lebar bagi konflik kepentingan dan manipulasi informasi.
Sehingga menurutku independensi media seperti tergadaikan, karena mereka tidak lagi menjadi pengawas, tetapi justru bagian dari sistem yang diawasi dan ssst “tolong jangan beritahu informasi ini” sebab sang posisi ganda ini orang yang lantang bersuara soal wartawan gadungan hahahaha.
Kemiskinan Meningkat di Tengah Peningkatan IPM
Dalam Laporan BPS Bolmut Tahun 2024, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memang naik dari 69,62 (2023) menjadi 70,29 (2024).
Kenaikan ini ditopang oleh bertambahnya harapan hidup dari 69,98 tahun menjadi 70,07 tahun, serta meningkatnya pengeluaran per kapita per tahun dari Rp9,77 juta menjadi Rp10,15 juta.
Namun, angka kemiskinan justru meningkat dari 7,31% (2023) menjadi 7,74% (2024). Artinya, ada tambahan 530 orang miskin baru, atau sekitar 9.930 jiwa penduduk Bolmut hidup dalam kemiskinan, dari total sekitar 128 ribu jiwa penduduk (proyeksi BPS 2024).
Fakta ini menunjukkan bahwa peningkatan IPM tidak serta merta mencerminkan peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata.
Angka makro yang tampak membaik ternyata menyimpan kesenjangan struktural yang belum terselesaikan. Kaget dengan data ini bukan? harusnya kaget dong hahahaha.
Teman-teman pembaca mungkin bingung kenapa saya kaitkan antara dugaan nepotisme anggaran dan angka kemiskinan.
Dugaan praktik pilih kasih dalam distribusi anggaran, seperti pada kemitraan media, menunjukkan adanya kecenderungan pengelolaan dana yang tidak adil.
Saya menduga pola serupa juga diterapkan dalam program penanggulangan kemiskinan, sehingga meskipun IPM naik, angka kemiskinan justru ikut meningkat.
Refleksi 18 Tahun Bolmut
Di usia 18 tahun, Bolmut seharusnya memasuki fase kematangan dalam tata kelola pemerintahan.
Namun berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa pola distribusi anggaran masih berpihak pada kepentingan segelintir elit baik di lingkaran legislatif maupun eksekutif.
Jadi, diakhir tulisanku ini kuharap kritik terhadap praktik nepotisme dan konflik kepentingan jangan dipandang bahwa ini kebencian, melainkan wujud dari keprihatinan daerah kira tercinta.
Sekali lagi Selamat HUT ke-18 Kabupaten Bolmut, dari anak daerah yang terpaksa merantau di kampung orang akibat ah sudahlah hahaha.